Monday, June 28, 2010

BAY’ MURABAHAH PADA PERBANKAN SYARIAH

BAY’ MURABAHAH PADA PERBANKAN SYARIAH
( Penelusuran Metode Istinbath Hukum Fiqh dan Fatwa DSN )
Oleh : Saparuddin Siregar SE Ak. MAg (Staff Ahli Perbankan PT. Kreasi Cipta Konsultan)

Murabahah has been widespread aplied in islamic banking practise. Islamic banking statistic shows that murabahah has been applied for 57,45% of banking transaction. Murabahah is a buy and sale transaction where buyer and seller aggree about the purchase cost plus the revenue (margin) will held by islamic bank. This paper describes how the method of istinbath applied by the jurist concerning the Shariah principal and also the ‘’Fatwa”. It’is understood that when the jurist could’nt find a reference from the Quran and Sunnah, they use the ta’lili method in understanding a matter which is not clearly mentioned.

A. Pendahuluan

Bay’ Murabahah pada saat ini telah dipraktekkan secara luas oleh perbankan syariah di Indonesia. Data statistik perbankan bulan Juni 2009 menunjukkan bahwa 57,45 % dari komposisi pembiayaan bank syariah adalah Bay’ al-murabahah.[1] Bay’ al murabahah yang dipraktekkan oleh perbankan adalah trasaksi jual beli antara bank dengan nasabah.
Dengan kesepakatan bersama antara nasabah selaku pembeli dengan bank selaku penjual, maka bank akan menambahkan margin keuntungan atas harga pokok barang yang dibeli, selanjutnya harga jual itu akan diangsur oleh nasabah sesuai jangka waktu yang disepakati.
Sebagai suatu jenis produk perbankan yang menempati porsi paling besar dalam penyaluran dana perbankan, maka menjadi suatu yang menarik untuk diteliti dari sisi prinsip syariahnya. Penelitian prinsip syariah terhadap bay’ al-murabahah dalam tulisan ini meliputi penelusuran terhadap beberapa literatur fiqh dan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), untuk mengetahui dalil-dalil serta penalaran ta’lili yang dilakukan oleh ulama dalam melakukan istinbath hukum.
Selain terhadap kebolehan bermuamalah dengan bay’ al-murabahah, tulisan ini juga membahas dalil-dalil yang membolehkan pembayaran murabahah itu secara mencicil.

B. Bay’ al-Murabahah Dalam Hukum Perbankan Nasional

1. Bay’ al-Murabahah dalam UU. No. 10 dan Peraturan Bank Indonesia
Landasan hukum operasional perbankan adalah UU. No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Al-Murabahah telah disinggung dengan jelas pada pasal 1 ayat 13 sbb:
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak lain (ijarah wa iqtina’)


Bay’ al-murabahah lebih rinci diatur pada Peraturan Bank Indonesia PBI No. 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sbb:
Pasal 1 ayat 7 PBI no. 7 menyebutkan bahwa; Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Selanjutnya pada pasal 9 akad murabahah diatur sebagai berikut :

(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang.
b. jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
d. dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;
e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank;
g. kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad;
h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.
(2) Dalam hal Bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun maka berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar uang muka, maka biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, maka Bank dapat meminta lagi pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah;
b. dalam hal urbun, jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah dibayarkan nasabah menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan jika urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Khusus tentang potongan harga pada murabahah, pasal 10 PBI ini menyebutkan sbb;
(1) Dalam pembiayaan Murabahah Bank dapat memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran hanya kepada nasabah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan/atau nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
(2) Besar potongan Murabahah kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan dalam Akad dan diserahkan kepada kebijakan Bank.

Bay al-Murabahah pada Perbankan Syariah
Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa murabahah telah dipraktekkan oleh perbankan syariah dalam sekala yang luas. Berikut ini adalah uraian ringkas tentang pelaksanaan murabahah di perbankan.
- Nasabah akan bertindak selaku pembeli (مشترى), sedangkan bank bertindak selaku penjual (بائع’).
- Pembeli mengajukan permohonan pembelian suatu barang kepada Bank, dengan melampirkan beberapa persyaratan standard, yaitu; (identitas diri, keterangan-keterangan tentang penghasilan/laporan keuangan, tanda kepemilikan atas benda yang akan digunakan sebagai agunan)
- Bank akan mengevaluasi kelengkapan persyaratan administrasi maupun kelayakan nasabah berdasarkan kriteria kelayakan pemberian pembiayaan [2] .
- Calon nasabah yang dipandang memenuhi syarat/prospektif dari segi administrasi akan diproses lebih lanjut dengan wawancara. Dalam wawancara ini mulai dibicarakan secara lebih konkrit jenis barang yang akan dibeli, harga pokok (رأس المال) dan keuntungan (ربح ) yang akan diperoleh bank, dan jangka waktu pembayaran cicilan (مأجل). Disamping itu bank akan memperdalam penelitian terhadap kriteria kelayakan (5C/5P) melalui wawancara ini.
- Apabila setelah proses wawancara nasabah dipandang layak, maka tahap berikutnya adalah melakukan survey/kunjungan terhadap usaha nasabah, termasuk melakukan penilaian terhadap fisik agunan yang diajukan .
- Apabila nasabah dipandang layak untuk bertransaksi murabahah dengan bank, maka nasabah akan membuat pernyataan janji membeli ( وعد ) dan menyerahkan uang muka ( عربن).[3]
- Untuk merealisasikan pembelian, bank dapat membelikan barang dimaksud, atau memberi kuasa ( وكا لة ) kepada nasabah untuk membelinya atas nama bank. Apabila barang dibeli oleh nasabah, maka bukti-bukti pembelian diserahkan kepada bank.
- Akad jual beli ditandatangani setelah barang dibeli dan selanjutnya barang beralih kepemilikannya kepada nasabah dan nasabah melakukan pembayaran secara mencicil.

Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa murabahah pada perbankan adalah transaksi jual beli yang pembayarannya bertangguh atau mencicil. Pada kenyataannya praktek perbankan syariah di Indonesia, bank tidak menyiapkan stok barang dagangan, sehingga untuk pengadaan barang lebih banyak atas inisiatif nasabah, yaitu nasabah yang mencari barang yang dibutuhkannya, lalu bank melakukan pembayaran langsung atau diwakilkan kepada nasabah.
Dalam hal bank mewakilkan pembelian kepada nasabah, secara tekhnis disyaratkan agar akad jual beli yang didalamnya terdapat pernyataan berhutang ditandatangani setelah barang dibeli oleh nasabah. Dari sisi bank hal ini dapat menyebabkan kesulitan/resiko bagi bank, dimana bank telah menyalurkan dana kepada nasabah, sementara akad belum ditandatangani.





C. Dalil-dalil Murabahah pada Kitab Fiqh Dan Fatwa DSN

Sebagaimana Murabahah yang dipraktekkan pada perbankan adalah jual beli yang pembayarannya dilakukan dengan cara mencicil, maka dibawah ini dikutip secara ringkas uraian tentang murabahah dan jual beli kredit dari 3 literatur fiqh serta fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)[4]:
Fiqh Sunnah, Karya Sayyid Sabiq
Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, karya Wahbah az-zuhaili
Mukhtasar al-Muzani ala al-Um li al-Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i, karya Mahmud Matraji.
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
1. Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq
a. Bay’ al-Murabahah
Sayyid Sabiq tidak membahas jual beli murabahah secara khusus didalam fiqh sunnah. Murabahah hanya didefinisikan dalam satu paragraf didalam bab Jual beli. Paragraf diberi judul “ Jawazu at-tauliyatu wa al-murabahatu wa al-wadhi’ah”. Didalam kitab ini disyaratkan bahwa pada jual beli tauliyah, murabahah dan wadiah, penjual dan pembeli mengetahui harga beli barang.
Murabahah didefinisikan oleh Sayyid Sabiq sebagai jual beli yang diketahui oleh penjual dan pembeli harga modal pembelian barang dan keuntungan yang ditambahkan diatas harga beli itu. Jual beli tauliyah adalah penjualan dibawah harga beli, sedangkan jual beli wadi’ah adalah penjualan dengan harga jual yang lebih rendah dari harga beli.[5] Tidak terdapat satu dalil Al-quran maupun Sunnah yang diajukan oleh Sayyid Sabiq sebagai sumber rujukan bagi Murabahah.

b. Jual Beli Kredit
Jual beli kredit didapati dalam pembahasan Fiqh Sunnah pada sub-topik Penambahan Harga dan dibahas dalam dua paragraf. Sayyid Sabiq menguraikan bahwa Jual beli boleh dilangsungkan dengan menggunakan harga waktu itu (tunai/naqdan), dan boleh juga dengan harga ditangguhkan (kredit/muajjal), demikian juga sebagian langsung dan sebagian lagi ditangguhkan jika ada kesepakatan dari dua belah pihak.
Selanjutnya menurut Sayyid Sabiq Jika pembayaran ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena pengangguhan tersebut, jual beli dinyatakan sah, mengingat penangguhan adalah harga (mendapat hitungan harga). Demikian menurut mazhab Hanafi, Asy-Syafi’i, Zaid bin Ali, Al-Muaayyad Billah dan Jumhur ahli Fiqh. Mereka melihat umumnya dalil yang memperbolehkan. Pendapat ini ditarjih oleh Syaukani.[6]



2. Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, karya Wahbah az-Zuhaili
a. Murabahah
Wahbah Zuhaili membahas murabahah dalam satu sub topik dibawah pembahasan tentang jenis-jenis jual beli. Sub topik ini diberi judul “Jual beli amanah- al-Murabahah wa at-tauliyah wa al wadhi’ah” [7]
Jual beli murabahah didefinisikan sebagai jual beli dengan harga awal beserta tambahan keuntungan. Disebutkan oleh Zuhaili bahwa kalangan Maliki mensyaratkan agar pembeli mengetahui pula harga awal dan keuntungan yang diperoleh penjual. Misalnya penjual menyebut jumlah dengan berkata:” saya beli dengan harga sepuluh dinar dan saya ambil keuntungan satu dinar atau dua dinar” , atau dapat juga penjual menguraikan sebagai berikut :” saya mengambil keuntungan satu dirham dari setiap satu dinar”
Lebih lanjut az-Zuhaili mengemukakan 4 syarat murabahah, yaitu:
1) Diketahui harga awal;
Disyaratkan bahwa harga awal diketahui oleh pembeli, mengetahui harga adalah syarat syahnya jual-beli.
2) Diketahui keuntungan
Dengan diketahuinya harga jual, maka diketahui besarnya keuntungan yang diperoleh dalam penjualan.
3) Harga awal (harga pokok pembelian) dapat diukur
Harga harus dapat diukur sesuai dengan alat ukur, timbangan atau hitungan yang mendekati.
4) Yang diperjualbelikan bukan benda-benda riba.
5) Akad yang pertama harus syah
Dari pembahasan Wahbah Zuhaili diatas tidak dikemukakan dalil-dalil Al-quran maupun Sunnah sebagai rujukan dari bay’ al-murabahah.
b. Jual Beli Kredit
Wahbah az-Zuahily tidak ada membahas secara khusus tentang jual beli kredit didalam kitab Fiqh al-Islami wa adillatuh.
3. Mukhtasar al-Muzani a’la al-Umm
a. Murabahah
Dalam kitab ini terdapat bab al-bay’ murabahah, namun juga tidak dibahas dalil-dalil al-quran dan sunnah tentang murabahah. Dalam bab ini dijelaskan bahwa apabila penjual berdusta tentang harga pokok pembelian barang, maka jual beli tidak fasid, akan tetapi penjual melakukan perbuatan haram yaitu berkhianat, sebagaimana tadlis, menyembunyikan ‘aib, sehingga harga yang diambilnya dari penjualan itu menjadi haram. Selanjutnya bagi pembeli terdapat hak khiyar apabila diketahuinya bahwa penjual berkhianat. [8]
b. Jual Beli Kredit
Sehubungan dengan jual beli kredit, terdapat satu bab didalam kitab ini yang menjelaskan tentang pembelian barang dengan pembayaran secara tangguh (kredit), bahkan dengan harga yang lebih rendah daripada harga kontan. Dijelaskan oleh Asy-syafi’i bahwa tidak ada salahnya seseorang membeli dengan pembayaran bertangguh meskipun dengan harga yang lebih rendah daripada harga tunai. Sebagai dalil dikemukakan sebuah riwayat dari Aisyah bahwa seorang wanita mendatangi Aisyah dan bertanya kepadanya tentang barang yang dijualnya kepada zaid bin arqam, selanjutnya dibelinya kembali barang itu dengan harga yang lebih murah, maka Aisyah berkata “inilah seburuk-buruk pembelian dan inilah seburuk-buruk penjualan, beritahukan kepada Zaid bin arqam bahwa telah batal pahala jihadnya bersama rasul, kecuali ia bertobat”
Kutipan hadis mauquf (Atsar) dari kitab dimaksud sebagai berikut:
عن عالية بنت أنفع أنها سمعت عائشة أو سمعت امرأة أبي السفر تروي عن عائشة أن امرأة سألتها عن بيع باعته من زيد بن أرقم بكذا وكذا إلى العطاء ثم اشترته منه بأقل من ذلك نقدا فقالت عائشة بئس ما اشتريت وبئس ما ابتعت أخبري زيد بن أرقم أن الله عز وجل قد أبطل جهاده مع رسول الله صلى الله عليه وسلم
Menurut Imam Syafi’i jual beli yang dilakukan oleh seorang wanita itu dengan Zaid bin Arqam bukanlah jual beli yang tercela. Menurut Imam Syafii perkara jual beli ini adalah perkara yang mujmal, lagi pula lama bertangguh tidak ditetapkan, Zaid adalah sahabat nabi, apabila diantara sahabat terjadi ikhtilaf, maka mazhab kita adalah qiyas, dalam hal ini kita mengikut Zaid, jadi kita tidak menetapkan sebagaimana pendapat Aisyah. Imam Syafi’i mendegaskan “Seandainya seseorang memiliki benda mengapa dia tidak boleh menjual menurut harga yang disukainya dan disetujui pembeli”.[9]

4. Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
Dalam fatwa ini terdapat pendefinisian bahwa murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Terkait dengan jual beli kredit tidak ada pembahasan secara eksplisit, namun didalam fatwa murabahah disinggung tentang “hutang murabah” yang dapat dipahami sebagai jual-beli kredit.
Terdapat beberapa dalil nash yang bersifat umum yang dikutip oleh DSN, antara lain:
a. Surah An-Nisa ayat 29; “janganlah kalian saling mengambil harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalanperniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu.”
b. Surah Al-Baqarah ayat 275; “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “
c. Surah al-Maidah ayat 1; “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”
d. Hadis nabi dari Abu Said al-Khudri; “Sesungguhnya jual beli adalah saling ridha”
e. Hadis riwayat Ibnu Majah; “Ada 3 hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai, muqharadah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keprluan rumah tangga, bukan untuk dijual”
f. Hadis Turmuzi; “...kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka , kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”

Dalam fatwa ini ditegaskan beberapa ketentuan umum, antara lain:
a. Akad murabahah bebas riba
b. Barang yang diperjualbelikan bukan barang haram
c. Bank membiayai sebagian atau keseluruhan harga.
d. Bank menjual senilai harga beli plus keuntungannya.
e. Jika pembelian diwakilkan, maka akad jual beli dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

D. Metode Istinbath Ulama Fiqh dan Fatwa DSN

Dalam pemilihan dalil-dalil hukum para mujtahid akan mencari dalil-dalil nash yang khusus, namun apabila tidak didapati nash yang khusus, maka dicarilah dalil-dalil yang umum untuk ditarik daripadanya prinsip-prinsip umum yang mengatur suatu perbuatan hukum. Dalam hubungannya dengan Bay’ al-murabahah dan jual beli kredit ini para mujtahid tidak menemukan nash Alquran dan Hadis yang menjelaskannya secara nyata. Karena itu sebagaimana dalam kajian ushul fiqh, maka para ulama menggunakan berbagai metode untuk dapat mendapatkan kesimpulan hukum atas transaksi murabahah ini.
Salah satu metode, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ad-Dawalibi adalah metode penalaran yang dibagi kepada tiga, yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan istishlahi.[10] Sejalan dengan Ad-Dawalibi, Alyasa membagi metode penalaran ini dengan nama Istinbat bayani, istinbat ta’lili dan istinbat istishlahi.[11]

Berikut ini adalah uraian dari metode istinbat hukum pada masing-masing kitab fiqh dan Fatwa DSN yang dirujuk tentang topik murabahah dan jual beli kredit ini.
1. Murabahah
a. Pemilihan Dalil
Dari pembahasan ketiga kitab fiqh diatas, tidak ada dikemukakan dalil Alquran maupun sunnah yang khusus untuk menjadi dalil bagi murabahah, dan tidak ada penjelasan tentang cara mereka melakukan istinbath hukum.

b. Penalaran Ta’lili
Meskipun dalam pembahasan murabahah tidak dikemukakan dalil Alquran dan Sunnah yang khusus, namun dapat diterima bahwa istinbath hukum dapat dilakukan dengan menggunakan dalil-dalil nash yang umum didalam transaksi jual beli. Disamping itu dalam kaedah fiqh muamalah telah disepakati bahwa الأصل في الأشياء الإباحة [12] ( Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh), sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”. Dalil dalil nash yang umum dimaksud menjadi prinsip umum yang harus dipenuhi oleh suatu transaksi jual beli, sehingga transaksi itu dapat dikatakan sah. Beberapa dalil-dalil nash yang bersifat umum dan menjadi prinsip bagi jual beli murabahah ini antara lain:
1) Dalam jual beli harus didasarkan ridha para pihak : Surah Annisa: 29, “kecuali dengan jalan perniagaan dan saling ridha”.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
2) Jual beli harus terbebas dari riba : Surah al-Baqarah ayat 275 : واحل الله البيع وحرم الربا ( Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)
3) Jual beli terbebas dari gharar : Riwayat ahmad dari Ibnu Mas’ud لاتشتروا السمك فىالماء فإنه غرار (janganlah kalian membeli ikan yang berada didalam air, sesungguhnya yang demikian itu gharar), ikan yang berada dalam air ini maknanya bahwa ikan tersebut belum jelas keberadaannya atau ukurannya.
4) Jual beli didasarkan atas syarat-syarat yang disepakati: Hadis riwayat at-Turmuzi dari amr bin ‘Auf, : Kaum Muslimin terikat kepada syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram.[13]

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Berdasarkan beberapa dalil-dalil nash yang bersifat umum, maka diturunkanlah prinsip-prinsip dalam jual beli, selanjutnya berdasarkan prinsip jual beli ini apabila diterapkan kepada akad jual beli murabahah, maka tidak terdapat sesuatupun didalam model akad murabahah yang bertentangan dengan prinsip jual beli ini. Karena itu jual beli murabahah adalah sesuatu jual beli yang dibenarkan oleh syariat.


2. Jual Beli Kredit

Dalam fiqh sunnah Sayyid Sabiq tidak mengajukan dalil Nash didalam pembahasannya, beliau mengutip pendapat para mujtahid. Namun DSN mengutip sebuah hadis riwayat Ibnu Majah yang berasal dari shahib[14]

عن صالح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم ثلاث فيهن البركة البيع إلى أجل والمقارضة وأخلاط البر بالشعير للبيت لا للبيع باب ما للرجل من مال ولده

Mengomentari hadis ini, Abu Ja’far menyebutkan bahwa hadis yang didalam sanadnya terdapat Nasr ibn al-Qasim adalah majhul [15]. Al-Bukhari bahkan menyebutkan bahwa hadis yang menyebutkan 3 pekerjaan yang diberkati adalah Hadis Maudu’[16]. Dengan demikian hadis ini sesungguhnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Imam syafi’i ketika menetapkan hukum atas penjualan suatu barang secara bertangguh kemudian terhadap barang itu dibeli kembali dengan harga yang lebih rendah, ternyata menetapkan hukum yang berbeda dengan yang diijtihadkan oleh ‘Aisyah. Syafi’i mempertimbangkan bahwa jual beli bertangguh dan pembeliannya kembali dengan harga yang lebih murah adalah perkara yang mujmal.

Perkara yang mujmal adalah suatu perkara yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Apabila penjelasan yang didapati tidak disepakati, maka para fuqaha dapat menggunakan ijtihadnya masing-masing.[17] Dengan kata lain suatu yang mujmal adalah suatu yang dapat kita ketahui apabila ada penjelasan nash (Lawan mufassar). Dalam kasus seorang wanita yang bertransaksi dengan zaid bin arqam yang juga merupakan sahabat nabi, sebagai seorang sahabat tentu Zaid tidak akan sembarangan dalam bertindak, sehingga yang dilakukan Zaid tentunya memiliki alasan ijtihadnya sendiri. Dalam pertimbangan Imam Syafii, apabila dikalangan sahabat terjadi ikhtilaf, maka Imam Syafii akan memilih salah satu dari pendapat sahabat yang ikhtilaf itu.


E. PENUTUP

Mencermati Peraturan Bank Indonesia terkait dengan murabahah, khususnya ketentuan murabahah pada PBI No. 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tampak bahwa ketentuan pada PBI adalah positifisasi dari Fiqh dan Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Dalam melakukan istinbath hukum para ahli fiqh tidak selalu mendasarkan pendapat mereka terhadap ada tidaknya dalil Alquran maupun Sunnah yang secara khusus dapat menjadi rujukan, karena itu sangat diperlukan penalaran ta’lili, yaitu mencari ‘illat hukum yang bersesuaian antara hukum pokok dengan cabang (far’un). Dengan metode ta’lili ini hukum yang tidak disebutkan secara zahir didalam teks Nash dapat diperluas cakupannya kepada kasus-kasus yang sepadan.
Diatas telah ditunjukkan pula bahwa Imam Syafi’i dalam perkara yang mujmal ternyata melakukan istinbat hukum dengan cara memilih salah satu dari pendapat sahabat yang berbeda itu, tentunya dengan mengemukakan pula alasannya dalam menetapkan pilihan.




DAFTAR BACAAN


Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998)

Ad-Dawalibi, al-Madkhal ila ‘ilm Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1965)

Bank Indonesia, UU. No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan

--------------------, PBI No. 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

Majah, Ibn, Sunan Ibnu Majah, Juz 2,(Beirut: Dar al-Fikr, tt)

Mahmud Matraji, Mukhtasar al-Muzani ‘ala al-Umm li al Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, Juz 9, ( Beirut: Dar al-Fikr, 2002)

Muhammad Amim al-Ihsan al-Mujaddidi al-Barkati, Qawaid al-Fiqh, (Karaci: , Assidep Bibalisraj,1986)

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz 12, (Kuwait, Dar al-Bayan, tt)

At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzy, (Tanpa kota: Dar Ihya at-Turasi al’Arabi, 1983)

Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995)

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 4, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989)


[1] Pembiayaan Mudharabah tercatat sebanyak 47,45 % dan pembiayaan musyarakah sebanyak 14,53 %, sedangkan total pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah posisi Juni 09 adalah 42,195 Triliun
[2] Kriteria kelayakan nasabah calon penerima pembiayaan ini dikenal dengan “5C” ( Character, Capacity Capital, Condition, Collateral) atau 5 P (People, Purpose, Payment, Protection, Perspective)
[3] Apabila bank telah membeli barang, ternyata nasabah membatalkan pemesanan, maka uang muka ini akan diperhitungkan untuk mengganti kerugian bank. Apabila uang muka tidak cukup maka nasabah wajib menambahnya.
[4] Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz 3, (Dar Assaqafah al-Islamiyah, tt), hal. 102
[6] Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 100
[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 4, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), hal 703
[8] Mahmud Matraji, Mukhtasar al-Muzani ‘ala al-Umm li al Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, Juz 9, ( Beirut: Dar al-Fikr, 2002), hal. 94
[9] Ibid
[10] Ad-Dawalibi, al-Madkhal ila ‘ilm Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1965), hal. 289
[11] Istinbat bayani adalah penalaran terhadap lafaz Nash dengan menggunakan pendekatan bahasa (linguistic), sedangkan istinbat ta’lili adalah penalaran dengan mencari illat hukum atau alasan terhadap suatu perbuatan hukum (rasio legis). Untuk mencari illat hukum ini prosesnya dapat melalui tahapan Takhrij al-manath, tanqih al-manath dan tahqiq al-manath. Lihat Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), hal. 7
[12] Muhammad Amim al-Ihsan al-Mujaddidi al-Barkati, Qawaid al-Fiqh, (Karaci: , Assidep Bibalisraj,1986), hal. 59
[13] Teks hadis dapat dirujuk pada At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzy, (Tanpa kota: Dar Ihya at-Turasi al’Arabi, 1983), hadis no. 1272.
[14] Sunan Ibnu Majah, Juz 2,(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal 768
[15] Yusuf ibn al-Zakiy Abd al-Rahman abu Hijaji al-Mazziy, Tahzib al-Kamal (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet pertama, 1980), Juz XVIII, hal. 33.
[16] Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fadhil al-Asqalany, Tahzib at-Tahzib (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. Pertama, 1984), Juz X, hal 386.
[17] Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 187.

No comments: