Tuesday, August 5, 2008

Renungan Jum'at

Aku Tidak Lebih Dulu ke Surga


Aku tidak tahu dimana berada. Meski sekian banyak manusia
berada disekelilingku, namun aku tetap merasa sendiri dan ketakutan. Aku masih
bertanya dan terus bertanya, tempat apa ini, dan buat apa semua manusia
dikumpulkan. Mungkinkah, ah aku tidak mau mengira-ngira.


Rasa takutku makin menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak
pernah kukenal sebelumnya mendekati dan menjawab pertanyaan hatiku.
"Inilah yang disebut Padang Mahsyar," suaranya begitu menggetarkan
jiwaku. "Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku, " batinku. Aku
menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari
seseorang yang kukenal.


Kusaksikan langit menghitam, sesaat kemudian bersinar
kemilauan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara menggema. Aku baru sadar,
inilah hari penentuan, hari dimana semua manusia akan menerima keputusan akan
balasan dari amalnya selama hidup didunia. Hari ini pula akan ditentukan nasib
manusia selanjutnya, surgakah yang akan dinikmati atau adzab neraka yang siap
menanti.


Aku semakin takut. Namun ada debar dalam dadaku mengingat
amal-amal baikku didunia. Mungkinkah aku tergolong orang-orang yang mendapat
kasih-Nya atau jangan-jangan .........


Aku dan semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari
Yang menguasai hari pembalasan. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara
menggema tadi yang mengatakan, bahwa sesaat lagi akan dibacakan daftar
manusia-manusia yang akan menemani Rasulullah SAW di surga yang indah.
Lagi-lagi dadaku berdebar, ada keyakinan bahwa namaku termasuk dalam daftar
itu, mengingat banyaknya infaq yang aku sedekahkan. Terlebih lagi, sewaktu
didunia aku dikenal sebagai juru dakwah. "Kalaulah banyak orang yang
kudakwahi masuk surga, apalagi aku," pikirku mantap.


Akhirnya, nama-nama itupun mulai disebutkan. Aku masih
beranggapan bahwa namaku ada dalam deretan penghuni surga itu, mengingat
ibadah-ibadah dan perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu, nama Rasulullah
Muhammad SAW sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai janji Allah
melalui Jibril, bahwa tidak satupun jiwa yang masuk kedalam surga sebelum
Muhammad masuk. Setelah itu tersebutlah para Assabiquunal Awwaluun.
Kulihat Fatimah Az Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia sebagai
wanita pertama yang ke surga, diikuti para istri-istri dan keluarga rasul
lainnya.


Para nabi dan rasul
Allah lainnya pun masuk dalam daftar tersebut. Yasir dan Sumayyah berjalan
tenang dengan predikat Syahid dan syahidah pertama dalam Islam. Juga para
sahabat lainnya, satu persatu para pengikut terdahulu Rasul itu dengan bangga
melangkah ke tempat dimana Allah akan membuka tabirnya. Yang aku tahu, salah
satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah melihat wajah
Allah. Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah bersyukur
mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang bersama
Muhammad menegakkan risalah. Setelah itu tersebutlah para mukminin terdahulu
dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah.


Sementara itu, dadaku berdegub keras menunggu giliran. Aku
terperanjat begitu melihat rombongan anak-anak yatim dengan riang berlari untuk
segera menikmati kesegaran telaga kautsar. Beberapa dari mereka tersenyum
sambil melambaikan tangannya kepadaku. Sepertinya aku kenal mereka. Ya Allah,
mereka anak-anak yatim sebelah rumahku yang tidak pernah kuperhatikan.
Anak-anak yang selalu menangis kelaparan dimalam hari sementara sering kubuang
sebagian makanan yang tak habis kumakan.


"Subhanallah, itu si Parmin tukang mie dekat kantorku,"
aku terperangah melihatnya melenggang ke surga. Parmin, pemuda yang tidak
pernah lulus SD itu pernah bercerita, bahwa sebagian besar hasil dagangnya ia
kririmkan untuk ibu dan biaya sekolah empat adiknya. Parmin yang rajin sholat
itu, rela berpuasa berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak
kelaparan. Tiba-tiba, orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi,
"Parmin yang tukang mie itu lebih baik dimata Allah. Ia bekerja untuk
kebahagiaan orang lain." Sementara aku, semua hasil keringatku semata
untuk keperluanku.


Lalu berturut-turut lewat didepan mataku, mbok Darmi penjual
pecel yang kehadirannya selalu kutolak, pengemis yang setiap hari lewat depan
rumah dan selalu mendapatkan kata "maaf" dari bibirku dibalik pagar
tinggi rumahku. Orang disampingku berbicara lagi seolah menjawab setiap
pertanyaanku meski tidak kulontarkan, "Mereka ihklas, tidak sakit hati
serta tidak memendam kebencian meski kau tolak."


Masya Allah murid-murid pengajian yang aku bina, mereka
mendahuluiku ke surga. Setelah itu, berbondong-bondong jamaah masjid-masjid
tempat biasa aku berceramah. "Mereka belajar kepadamu, lalu mereka
amalkan. Sedangkan kau, terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengarkan.
Padahal, lebih banyak yang bisa dipelajari dengan mendengar dari pada
berbicara," jelasnya lagi.


Aku semakin penasaran dan terus menunggu giliranku dipanggil.
Seiring dengan itu antrian manusia-manusia dengan wajah ceria, makin panjang.
Tapi sejauh ini, belum juga namaku terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera
bertemu Allah dan berkata, "Ya Allah, didunia aku banyak melakukan ibadah,
aku bershodaqoh, banyak membantu orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke
surgaMu."


Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara
lagi, aku ingin menolaknya. Tetapi, tanganku tak kuasa menahannya untuk
berbicara. "Ibadahmu bukan untuk Allah, tapi semata untuk kepentinganmu
mendapatkan surga Allah, shodaqohmu sebatas untuk memperjelas status sosial,
dibalik bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang
kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu," bergetar
tubuhku mendengarnya.


Anak-anak yatim, Parmin, mbok Darmi, pengemis tua,
murid-murid pengajian, jamaah masjid dan banyak lagi orang-orang yang sering
kuanggap tidak lebih baik dariku, mereka lebih dulu ke surga Allah. Padahal,
aku sering beranggapan, surga adalah balasan yang pantas untukku atas dakwah
yang kulakukan, infaq yang kuberikan, ilmu yang kuajarkan dan perbuatan baik
lainnya. Ternyata, aku tidak lebih tunduk dari pada mereka, tidak lebih ikhlas
dalam beramal dari pada mereka, tidak lebih bersih hati dari pada mereka,
sehingga aku tidak lebih dulu ke surga dari mereka.


Jam dinding berdentang tiga kali. Aku tersentak bangun dan,
astaghfirullah ternyata Allah telah menasihatiku lewat mimpi malam ini.
(bay)


Termasuk Manakah Kita?
Dikirim oleh: Cut Irma Sheila

No comments: