Tuesday, July 22, 2008

Sekali Lagi Kredit Sektor Kelautan

Sekali Lagi Kredit Sektor Kelautan
Oleh : Akhmad Fauzi
ARTIKEL yang ditulis Ugie Nugroho tentang Mengkaji Pemberian Kredit Sektor Kelautan pada rubrik Bahari, (Kompas, 23/07/2003), patut diapresiasi. Paparan yang ditulis di tengah lesunya minat perbankan berinvestasi di sektor kelautan memang menggugah kesadaran atas terabaikannya sektor kelautan selama ini. Namun, agar apa yang dipaparkan penulis lebih banyak mengenai aspek kredit untuk sektor kelautan, karena itu artikel ini mencoba melengkapinya dengan mengangkat aspek ekonomi sumber daya kelautan, khususnya perikanan.

SITUASI diametrikal memang dialami sektor kelautan, di mana potensi yang berlimpah tidak tercermin pada minat pelaku untuk berinvestasi. Kontribusi sektor ini terhadap PDB masih berkisar dua persen per tahun.

Salah satu kendala adalah sulitnya permodalan yang dialami oleh pelaku ekonomi, dalam hal ini nelayan untuk memanfaatkan sumber daya kelautan secara optimal. Karena itu alternatif pemberian kredit untuk sektor kelautan diharapkan mampu menjembatani kendala tersebut.
Sebenarnya langkah pemerintah untuk memberikan kredit kepada sektor kelautan, khususnya perikanan, sudah lama dilakukan. Sejak Pelita pertama pemerintah telah memberikan bantuan kredit dalam bentuk KIK/KMKP (Kredit Investasi Kecil/Kredit Modal Kerja Permanen) yang merupakan kredit jangka menengah dan jangka panjang untuk keperluan rehabilitasi, modernisasi, dan perluasan proyek.

Dari skim kredit KIK/KMKP melalui berbagai departemen, pemerintah juga menyalurkan skim kredit lain baik secara langsung maupun tidak langsung kepada nelayan. Bantuan finansial telah diberikan dengan menggunakan pinjaman negara donor misalnya melalui program RIGP (Rural Income Generating Project).

Bantuan seperti itu ditujukan untuk memberdayakan masyarakat nelayan dalam rangka meningkatkan pendapatan. Memang disadari besarnya kredit yang disebarkan untuk perikanan hingga saat ini belum tercatat dengan jelas sehingga dampaknya pun sulit diketahui.
Apa yang ditawarkan Ugie Nugroho adalah perhitungan- perhitungan potensi kredit yang bisa disalurkan oleh lembaga keuangan berdasarkan perhitungan dan asumsi dari kemampuan sektor kelautan khususnya perikanan, sehingga dengan perhitungan-perhitungan tersebut kendala finansial yang dialami nelayan selama ini dapat teratasi.
Di lain pihak, lembaga keuangan, khususnya perbankan, mampu memetik manfaat ekonomi dari penyaluran kredit tersebut. Di sinilah perlunya penajaman analisis karena perhitungan yang didasarkan pada asumsi linear bisa jadi dalam jangka panjang malah akan membuat kolaps kedua belah pihak, nelayan dan lembaga keuangan itu sendiri. Karena itu ada beberapa hal yang perlu dielaborasi lebih jauh.

PERTAMA, saudara Ugie menggunakan asumsi produksi perikanan sebagai basis perhitungan potensi ekonomi yang bisa dihasilkan. Di sinilah perlunya kehati-hatian. Satu hal yang patut dicatat adalah, produksi sebesar empat juta ton tersebut belum memperhitungkan tangkap untuk subsisten, tangkap yang tidak dilaporkan (unreported), by catch (yang terbuang), dan tangkap akibat illegal fishing.

Jika keempat faktor tersebut diperhitungkan, tak ayal produksi perikanan Indonesia sudah melewati titik yang diklaim sebagai titik potensi maksimum lestari (6,4 juta ton). Artinya, dalam situasi seperti itu, potensi economic rent yang mungkin dipicu akan sangat minimal kalau tidak disebut negatif. Dalam situasi seperti ini, masih mungkinkah memberikan kredit modal kerja kepada nelayan?
Jawabannya ya dan tidak. Melihat kondisi sumber daya perikanan yang bervariasi secara geografis, tentunya tidak semua bisa dipukul rata. Potensi pemberian kredit bisa dan layak dilakukan pada wilayah-wilayah yang sumber dayanya masih potensial untuk dikembangkan seperti di kawasan timur Indonesia. Namun, untuk kawasan barat yang sudah mengalami economic overfishing, pemberian kredit selain akan menambah tekanan terhadap sumber daya juga hanya menimbulkan economic waste.

Kedua, dalam menghitung potensi ekonomi, juga diasumsikan bahwa nilai produksi sebesar Rp 40,7 triliun dapat dihasilkan dari perkalian linier antara produksi dan harga ikan Rp 10.000 per kilogram. Kembali asumsi ini bisa sangat misleading karena dua hal.
Satu, tidak semua produksi ikan dijual (sebagian dari produksi dikonsumsi langsung untuk pemenuhan subsisten) dan tidak semua ikan bernilai ekonomis penting.
Dua, perhitungan ini sama sekali mengabaikan aspek cost of fishing yang terus meningkat sepanjang waktu. Selain itu, produksi perikanan sangat fluktuatif dan sangat elastis. Dalam kaitan ini perhitungan nilai ekonomi seharusnya dibuat dis-agegatif dengan memisahkan mana produksi yang high value-low volume dan mana yang high volume-low value.

Pemisahan juga perlu dilakukan untuk berbagai jenis ikan antara pelagis besar, pelagis kecil, ikan-ikan demersal, dan jenis-jenis Molusca dan Chepalopod. Semua jenis ini memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan karakteristik suplai yang berbeda pula.
Dengan segmentasi itu, maka akan lebih mudah memperhitungkan produk mana yang relatif stabil di pasar sehingga lembaga keuangan akan lebih merasa aman dalam menyalurkan kredit. Karena bagaimanapun juga lembaga keuangan tidak ingin merugi, dan kredit tidak bisa disalurkan secara pukul rata.

HAL ketiga menyangkut asumsi potensi investasi pengolahan ikan. Fauzi (2002) secara detail pernah menghitung aspek ekonomi sumber daya dari demand terhadap fishmeal di Indonesia. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa dengan kondisi saat ini Indonesia akan terus mengimpor bahan baku tepung ikan karena minimnya suplai bahan baku dalam negeri. Kenapa?

Sebagian besar dari produksi perikanan digunakan untuk konsumsi, bahkan ini pun masih belum mencukup jika dilihat dari jumlah penduduk yang Indonesia yang harus diberi makan ikan. Selain itu, fluktuasi produksi menyebabkan kontinuitas suplai bahan baku juga sulit dipenuhi. Jadi terlalu sederhana dan naif jika 60 persen hasil tangkapan ikan digunakan untuk pascapanen.

Kebutuhan minimum pabrik tepung ikan sebesar 250.000 ton per tahun saja sulit dipenuhi. Menurut perhitungan Fauzi (2002), investasi di pengolahan ikan memang sangat memungkinkan, namun investasi atau kredit di bidang ini seharusnya lebih diarahkan pada perbaikan teknologi sehingga memberikan nilai tambah bagi industri pengolahan semacam tepung ikan.
Satu hal yang juga cukup krusial dalam mengkaji kredit di sektor kelautan adalah dalam kaitannya dengan sifat sumber daya kelautan, khususnya perikanan yang lebih bersifat quasi open access. Situasi ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan sektor pertanian maupun industri yang hak kepemilikannya cukup jelas.
Dalam situasi yang quasi open access, discount rate untuk stream benefit di masa mendatang sangat tinggi akibat adanya eksternalitas yang ditimbulkan oleh sifat quasi open access tersebut. Akibatnya pelaku perikanan cenderung untuk memperoleh tangkapan setinggi-tingginya pada saat kini dibanding dengan saat mendatang. Maka timbul thinning out stock effect (stok yang menipis) di masa mendatang yang pada gilirannya akan menyebabkan manfaat yang menurun. Di sinilah perlunya penentuan tingkat suku bunga yang tepat untuk kredit sektor kelautan.
Tidak dimungkiri bahwa memang peluang investasi swasta dan lembaga keuangan di sektor kelautan cukup besar. Namun demikian, investasi ini harus dilakukan secara selektif dan mengikuti kaidah-kaidah ekonomi sumber daya karena potensi perikanan ini memang sangat unik.

Dengan demikian, permasalahan permodalan yang timbul di sektor kelautan dapat diatasi tanpa menimbulkan masalah baru yang justru mendorong munculnya biaya sosial dan biaya transaksi yang lebih mahal. Sektor kelautan yang sehat dan layak secara ekonomi bukan tidak mungkin dicapai jika langkah-langkah strategis ke arah tersebut dilakukan secara tepat dan hati-hati.
Kerja sama pihak lembaga keuangan seperti perbankan dengan pelaku dan akademisi untuk mencari format yang tepat bagi sektor kelautan akan sangat diperlukan untuk membawa sektor ini sebagai penggerak ekonomi Indonesia seperti yang diinginkan.

No comments: