Wednesday, July 30, 2008

Kelembagaan pedesaan dan pemberdayaan petani

Kelembagaan pedesaan dan pemberdayaan petani

Dalam rangka meningkatkan penelitian dan pengembangan wanatani
berbasis karet secara partisipatif di Provinsi Jambi, pada akhir tahun 1999,
ICRAF telah mengambil inisiatif melalui pendekatan ‘swadaya
kelompok’ (self-help group) di tiga desa, yaitu Rantau Pandan, Sepunggur
dan Lubuk, dimana masing masing memiliki karakteristik berbeda.
Beberapa kegiatan telah dilakukan:
1. Kunjungan lapangan petani ke lokasi penelitian ICRAF (penelitian
RAS dan pengamatan plot okulasi langsung dibawah sistem sisipan);
2. Analisa dan evaluasi sistem produksi karet saat ini;
3. Pelatihan setengah hari bagi petani tentang okulasi pada anakan karet.
Walaupun tujuan awalnya dimaksudkan untuk menarik minat petani
dalam suatu sekolah lapangan (Farmer Field School) yang merupakan suatu
pendekatan penelitian partisipatif, namun peserta dari ketiga desa tersebut
Inovasi petani dalam melaksanakan okulasi anakan karet, dengan mata entres klon unggul
Kunjungan petani merupakan hal yang sangat berguna dalam proses alih teknologi dalam upaya untuk mendapatkan umpan balik, di atas meminta untuk dibina dalam pembangunan kebun entres desa yang dapat menghasilkan bahan tanaman maupun bahan entres okulasi.
Kegiatan awal yang berupa mobilisasi kelompok dan pembentukan pengurus kelompok sepenuhnya dibantu oleh staf ICRAF di Muara Bungo. Seluruh tenaga kerja, lahan dan bahan-bahan untuk konstruksi pembibitan dan untuk menjalankan kegiatan pembibitan diusahakan dari anggota kelompok, sedangkan input penting yang tidak tersedia di tingkat petani seperti sumber entres (sumber mata klon), pupuk, biji untuk
batang bawah disediakan oleh ICRAF. Bahan-bahan lain hanya diberikan
jika diminta oleh kelompok tani, dan hanya jika tidak ditemukan pilihan
lain (‘drip’ support). Tujuan utama kelompok pembibitan (persemaian) ini
adalah untuk menghasilkan bahan tanaman klon, diokulasi dan ditanam
dalam ‘polibag’, stum mata tidur, sumber entres untuk okulasi bagi setiap
individu petani dengan harga murah yang dikelola oleh suatu kelompok
tani pada unit desa. Kontribusi tenaga kerja harian secara sukarela atau
gotong royong, dilakukan oleh semua peserta dalam kegiatan rutin
pembuatan pembibitan, seperti penanaman biji, pemindahan ke lapangan,
penyiraman, penyiangan, merupakan strategi pendekatan ini.
Kebun entres di Desa Lubuk dinilai paling berhasil ditinjau dari dinamika
kelompok dan kelestarian kegiatan pembibitan. Kebanyakan anggota
kelompok adalah pendatang dari Jawa, dan perilaku berkelompok mereka
merupakan faktor kunci keberhasilannya. Pada saat ini, setiap petani telah menerima 60 tanaman okulasi, baik dalam bentukstum mata tidur maupun dalam ‘polibag’, dan selebihnya siap untuk dibagikan. Di Rantau Pandan, Pak Yani salah satuanggota kelompok yang juga
seorang Guru telah membuat pembibitan di sekolah sebagai tempat praktik okulasi murid-muridnya. Kini telah banyak petani membuat kebun bibit secara swadaya Anggota kelompok mandiri di Lubuk sedang mengumpulkan pasir dari sungai terdekat untuk persemaian biji karet
untuk kepentingan mereka pribadi. Hanya sedikit petani yang berhasil melakukan okulasi langsung pada lahan yang baru ditanami. Beberapa petani juga telah menunjukan m i n a t n y a i u n t u k melakukan okulasi langsung di kebun karetnya. Pembentukan kelompok tani di dua desa lainnya,
yaitu Rantau Pandan dan
Sepunggur dinilai kurang berhasil dibandingkan dengan di Lubuk.
Kelompok ini memutuskan untuk berhenti bekerja secara kelompok,
sedangkan kebun pembibitannya kini telah dipakai secara pribadi.
Pembangunan kebun entres sebagai sumber mata entres klon dan
produksi bibit, keahlian lokal dalam menghasilkan bibit klon unggul,
kesadaran dan antusiasme petani untuk memakai bahan tanaman klon
dalam sistem produksi karet, serta minat masyarakat untuk mencoba
mencari jalan keluar untuk melakukan okulasi langsung pada lahan yang
baru ditanami, merupakan hasil nyata dari kegiatan ini. Keseragaman
diantara anggota kelompok, hubungan antar pribadi dan antar anggota
kelompok, peran ketua kelompok, dasar keberadaan setiap anggota
kelompok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan
pendekatan kelompok kebun untuk menghasilkan bahan tanaman karet.
8. Kebijakan yang berkaitan dengan kebun karet rakyat
Sebagaimana telah disampaikan di depan, diperkirakan hampir 10% dari
luas total Propinsi Jambi adalah kebun karet, dimana sebagian besar dari
kebun tersebut dikelola secara ekstensif, dalam bentuk wanatani kompleks
berbasis karet. Bukti terakhir menunjukkan bahwa sekitar 47% petani
karet di propinsi ini melakukan sisipan pada sedikitnya satu dari beberapa
hamparan kebun karet yang mereka miliki, sebagai alternatif
pengembangan wanatani berbasis karet yang berkembang dari praktik
Gambar 35. Beberapa anggota kelompok tani di Lubuk
berpose didepan kebun entres mereka
(Foto: Ratna Akiefnawati).
33
34
tebas bakar. Namun, kini ada suatu indikasi kuat bahwa cara tersebut di
atas merupakan pilihan kedua dari strategi petani untuk mencukupi
kebutuhannya secara menerus; pasalnya adalah, tingginya investasi yang
dibutuhkan untuk penanaman baru, makin terbatasnya lahan untuk
intensifikasi dan tingginya resiko kegagalan karena gangguan hama.
8.1 Pengakuan wanatani sebagai pilihan manajemen
Lokakarya internasional yang baru-baru ini diadakan di Muara Bungo dari
tanggal 3 - 6 September 2001, telah melakukan berbagai analisis dari
berbagai sistem wanatani berbasis karet di dataran rendah, arah
perkembangan terbaru dengan konsekuensinya terhadap keuntungan dan
jasa lingkungan, serta pilihan untuk mengembangkan pengetahuan ekologi
petani dan cara pengambilan keputusan petani untuk menghadapi
tantangan perubahan landskap. Kini telah diakui bahwa kebun karet
rakyat adalah salah satu potensi utama sebagai sumber plasma nutfah
keragaman hayati di Indonesia sebagai pengganti kemerosotan keragaman
hayati di Sumatera. Hutan karet rakyat dapat mempertahankan sekitar
50% dari keragaman hayati yang dijumpai di hutan alam.
Penelitian RAS telah membuktikan kelayakan pembangunan kebun karet
klon dengan pengelolaan ekstensif (relatif terhadap kebun monokultur)
dengan penggunaan tenaga kerja dan input produksi lebih sedikit. Namun,
regenerasi nilai keragaman hayati RAS secara nyata lebih sedikit dari
kebun karet rakyat. Yang menarik adalah, rendahnya harga karet dewasa
ini mendorong perkembangan pengelolaan kebun dengan cara sisipan.
Bagaimanapun, harga karet, alam, yang saat ini merupakan harga terendah
selama tiga dekade terakhir, begitu pula aturan baru dari Standar Nasional
Indonesia (SNI) (Wibawa et al., 2001) telah mempengaruhi pendapatan
petani yang bersumber dari karet, dampaknya petani karet semakin tak
berdaya. Hal ini dapat ditunjukan antara lain oleh terbengkalainya kebun
karet tua dan konversi kebun-kebun yang mempunyai keragaman hayati
tinggi ini ke kebun kelapa sawit atau karet monokultur yang mulai banyak
dijumpai di Jambi.
Terlepas dari besarnya peranan kebun karet rakyat di Jambi dan di
berbagai propinsi lainnya di Indonesia, masih sedikit usaha pemerintah
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan studi dan
mengembangkannya. Kebanyakan proyek pengembangan karet di masa
lalu memberikan tekanan pada usaha konversi wanatani berbasis karet
35
yang kompleks, fleksibel, memerlukan input dan mengandung resiko
rendah ini menjadi perkebunan monokultur. Sejarah pengembangan karet
di masa lalu juga menunjukkan bahwa pertimbangan keuntungan ekonomis
menjadi tujuan utama dengan mengesampingkan faktor konservasi
lingkungan. Sekarang tiba saatnya bagi pemerintah dan institusi nasional
untuk menyadari bahwa nilai dan kepentingan kebun karet rakyat bukan
hanya bagi keluarga petani, namun juga bagi lingkungan baik di tingkat
nasional maupun global. Pengakuan yang dibutuhkan oleh petani karet
untuk melaksanakan pengelolaan kebun karet rakyat secara lestari tidak
hanya dapat dilakukan melalui pengakuan bahwa kebun karet merupakan
pola pengelolaan yang ramah lingkungan sebagaimana yang terjadi dengan
kebun Damar (Repong Damar) di pesisir Krui-Lampung yang dianugerahi
penghargaan Kalpataru pada tahun 1997. Yang dibutuhkan petani lebih dari
pada pengakuan atas pola pengelolaan yang mereka miliki, tetapi juga
pengakuan atas kepastian lahan kebun beserta hasilnya dalam jangka
panjang, pengakuan kelembagaan petani lokal untuk dapat secara leluasa
mengelola kebun sesuai dengan institusi dan sistem pengaturan yang
dikenal, seperti juga yang diberikan kepada petani Krui pada tahun 1998.
Pengakuan dari keberadaan wanatani berbasis karet yang ekstensif, inisiatif
penelitian dan pengembangan, inisiatif peningkatan kualitas (bukan
menghilangkan sistem yang sangat ramah lingkungan ini) harus menjadi
langkah pertama. Deregulasi perdagangan kayu hasil wanatani Penebangan dan penjualan kayu baik yang berasal dari kawasan hutan negara maupun dari tanah rakyat yang berupa kayu tanaman dan kayu alam dibatasi melalui pajak, kuota dan birokrasi yang sangat kompleks.
Banyak kayu karet yang berasal dari hutan karet rakyat saat ini hanya berakhir menjadi arang,
karena belum adanya insentif bagi petani untuk memasarkannya. Kebijakanlingkungan yang kondusif dan pengembangan infrastruktur akan meningkatkan minat untuk memakai kayu karet, yang dianggap sebagai ‘limbah’ kebun karet . Mekanisme regulasi aturan yang bersamaan dengan kenyataan bahwa kayu karet harus diproses secepatnya dalam jangka waktu 72 jam setelah ditebang, merupakan kendala utama untuk penggunaan kayu karet yang
berasal dari kebun karet rakyat. Hal ini menyebabkan petani membakar
kayu potensial dari wanatani karet tua, yang berarti telah menyia-nyiakan
sumberdaya alam dan memicu timbulnya resiko kebakaran serta asap.
Perubahan kebijakan kearah dukungan bagi perdagangan kayu karet
maupun non kayu karet yang berasal dari kebun karet tidak hanya akan
meningkatkan penggunaan kayu karet secara tepat, namun juga akan
memperbaiki pendapatan petani karet, meningkatkan polikultur pada
wanatani berbasis karet, menurunkan ketergantungan petani hanya pada
satu komoditas, mengurangi permintaan kayu hutan alam, mengurangi
asap dan bahaya kebakaran serta mencegah emisi gas rumah kaca.
Prosedur untuk mengetahui secara pasti kayu yang berasal dan untuk
mempromosikan perdagangan dan pengolahan kayu, perlu dikembangkan
melalui penelitian dan perbaikan kebijakan. Jasa lingkungan kebun karet rakyat
Dengan semakin menyusutnya hutan alam, wanatani kompleks berbasis
karet sebagaimana kebun karet rakyat dapat berperan sebagai pemberi jasa
lingkungan nasional/global selain memenuhi kebutuhan lokal. Jasa
lingkungan ini meliputi penyerapan karbon dari atmosfer,
mempertahankan keragaman hayati serta melestarikan fungsi hidrologis.
Petani dan masyarakat yang melindungi dan mempertahankan hutan serta
wanatani kompleks biasanya tidak diberi penghargaan atas jasa-jasa
lingkungan yang telah mereka berikan. Jika dibandingkan dengan
perkebunan monokultur intensif, dan sistem tata guna lahan lainnya,
36
wanatani berbasis karet, seperti kebun karet rakyat, adalah kurang
produktif dan saat ini kurang menguntungkan serta sedang menghadapi
tantangan dari berbagai pilihan usahatani. Karena tidak tersedianya
insentif, petani bahkan sering memilih sistem usaha yang memberikan jasa
lingkungan yang rendah yang berdampak negatif bagi pemangku
kepentingan (stakeholders) luar yang sering atau bahkan jauh dari batas
batas desa, kabupaten, provinsi dan nasional. Sekarang tumbuh kesadaran
dan ketertarikan diantara lembaga penelitian, pengembangan, masyarakat
donor, terhadap skema penghargaan, jika mekanisme yang tepat dapat
dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik, akan dapat
mempertahankan kebun karet rakyat beserta jasa lingkungan yang dapat
diberikannya. Penelitian untuk mengkuantifikasi jasa lingkungan dan metode untuk
memonitornya serta keuntungan ekonomis dari berbagai pilihan tata guna
lahan akan segera dilakukan oleh ICRAF. Kebun karet rakyat telah
diusulkan sebagai calon dimana petani dapat diberikan penghargaan untuk
jasa keragaman hayati yang dimiliki oleh kebunnya. Konteks kelembagaan

segera dibutuhkan dimana keduanya, pemberi jasa lingkungan dan yang
menerima manfaat atas jasa dapat bernegosiasi secara bebas dan
mengembangkan kesepakatan yang saling menguntungkan. Kebijakan
lingkungan untuk mengembangkan dan menghidupkan mekanisme
pemberian penghargaan ini sangat penting untuk dikembangkan melalui
berbagai penelitian dan dialog secara tepat. Seluruh pemangku
kepentingan yang meliputi petani, kelompok tani, organisasi desa,
pemerintah daerah, peneliti, agen pembangunan, LSM, serta donor akan
mempunyai peranan penting bagi pengembangan dan implementasi
inisiatif baru ini.

No comments: