= Sorta Boru Siregar =
Cerita ini diceritakan dalam wag IKKBM dan dikutip untuk disimpan dalam blogspot ini.
Sahat kelihatan gelisah berdiri dipinggir jalan, tepat di pangkal Jembatan Trikora Batang Toru. Sesekali Dia melepaskan pandangannya ke ujung Jembatan yang ada diseberang sungai. Waktu terasa berjalan begitu lambat, dia dari tadi sehabis maghrib sudah menunggu kehadiran seseorang yaitu seorang gadis pujaannya, seorang wanita cantik bernama Sorta. Mereka sudah sepakat untuk bertemu di Jembatan Trikora, selepas Maghrib. Mereka berdua sudah berjanji memutuskan untuk mangalua atau kawin lari setelah orang tua Sorta melarang hubungan mereka. Rencananya orang tua Sorta akan menjodohkannya dengan anak namborunya yang tinggal di kota Medan.
Setelah menunggu beberapa lama, walaupun terlambat dari waktu yang mereka sepakati, akhirnya dikeremangan malam, sahat melihat Sorta berjalan tergopoh gopoh dengan menjinjing tas koper ditemani teman dekatnya yang bernama Masdauna. Sahat menyongsong kedatangan Sorta dan meminta tas koper milik Sorta, kemudian mereka bertiga bergegas masuk kedalam kedai satu satunya yang ada di dekat jembatan. Kelihatan mereka ketakutan, takut disusul orang tua Sorta yang memang tidak merestui hubungan mereka. Sahat berencana membawa sorta ke rumah Uda/pamannya bernama Lagut Pasaribu yang tinggal di Padang sidimpuan. Dalam adat batak ada istilah mangalua atau kawin lari. Mangalua biasanya dilakukan jika orang tua perempuan tidak menyetujui hubungan pasangan kekasih, sementara keduanya sudah sepakat untuk berkeluarga. Sebelum mangalua, biasanya si Gadis akan meletakkan surat dan kain sarung partading/petinggal dibawah bantalnya sebagai tanda bahwa dia sudah pergi bersama lelaki pilihannya. Hubungan Sahat dan Sorta sudah cukup lama, sudah hampir 3 tahun. Mereka sudah merasa cocok satu sama lain. Mereka sudah berencana untuk meningkatkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Sudah Beberapa kali Sorta menyampaikan kepada orang tuanya bahwa dia dan Sahat sudah sepakat untuk hidup bersama dalam suatu ikatan pernikahan, namun kedua orang tuanya, terutama Ayahnya dengan tegas menolak hubungan mereka.
Seminggu yang lalu, kedua orangtuanya memanggil sorta dan menyampaikan bahwa hubungannya dengan Sahat harus segera diakhiri, karena menurut Ayahnya Sahat tidak pantas mendampingi Sorta, karena keluarga Sahat hanya orang biasa bukan keturunan Namora, keturunan Raja seperti keluarga Sorta. Di desa mereka memang sudah terkenal keturunan ayahnya Sorta adalah keturunan raja. Sorta bersikeras, agar hubungan mereka direstui, dia berargumen walaupun Sahat bukan turunan raja, namun Sahat seorang pria yang baik, mempunyai pekerjaan yang menetap sebagai seorang guru sekolah dasar. Sahat juga aktif bermasyarakat dan sholatnya tidak pernah tinggal. Menurut Ayahnya, Sorta lebih pantas dijodohkan dengan Paribannya yang tinggal di Medan, yang menurut Ayahnya seorang keturunan terhormat, keturunan dari Bagas Godang. Sorta terus memohon dan bersikeras agar hubungan mereka direstui, namun Ayahnya tetap menolak. Sorta sempat berteriak teiak dan bersumpah di depan orang tuanya bahwa hubungannya dengan Sahat tidak bisa dihalangi. Mendengar ini, sejak saat itu ayah Sorta melarangnya bertemu dengan Sahat. Sorta di kurung dalam kamarnya, tidak boleh lagi berkomunikasi dengan Sahat, sambil menunggu lamaran Paribannya dari Medan yang direncanakan Bulan depan.
Sahat mendapat kabar dari teman dekat Sorta yang bernama Masdauna, dimana Sorta sudah dikurung dalam kamarnya, dan tidak boleh lagi berhubungan dengan Sahat. Mendengar kabar ini, Sahat menitipkan surat buat Sorta yang berisikan Sahat ingin mengajak Sorta untuk kawin lari, dan menunggunya di Jembatan Trikora besok hari selepas Maghrib. Demi cintanya kepada Sahat, dan demi cita cita mereka untuk hidup bersama, Sorta setuju dengan ajakan sahat. Menurut pendapat sorta, inilah jalan terakhir satu satunya untuk bisa mencapai cita cita, membangun rumah tangga dan menikah yang didahului dengan mangalua bukanlah suatu hal yang tabu dan memalukan.
Sorta setelah mendapat surat dan pesan dari Sahat, segera menyiasati dan merencanakan akan meninggalkan rumah menuju tempat yang dijanjikankan oleh kekasihnya yaitu di Jembatan Trikora. Selepas sholat Maghrib, sementara ayah dan ibunya masih di Mesjid, Sorta dibantu oleh Masdauna sahabat karibnya keluar dari pintu belakang rumah dengan cara mengendap endap. Mereka berjalan kaki di malam hari melalui belakang rumah penduduk menuju Jembatan Trikora. Setelah berjalan beberapa lama akhirnya mereka sampai di Jembatan Trikora dan melihat sahat sedang menunggu di kejauhan.
Sepulang dari Mesjid sehabis sholat Maghrib, kedua orang tua Sorta menjadi terkejut, ketika pintu belakang rumah terbuka tanpa terkunci dan kamar Sorta telah kosong. Ayahnya mendapat surat dan kain sarung sebagai abit/kain partading. Ternyata Sorta sudah pergi mangalua beserta Sahat kekasihnya entah kemana tujuannya. Ayahnya menjadi panik dan akan berusaha mencari Sorta sebelum dia dibawa Sahat. Untungnya tetangga sebelah melihat Sahat berdiri seorang diri di Jembatan Trikora menjelang Maghrib. Mendapat informasi ini, ayah Sorta segera mengambil Sepedanya dan bergegas menuju Jembatan Trikora. Dia yakin sahat sudah berjanji dan sedang menunggu kedatangan Sorta. Ayah Sorta mengayuh sepedanya dengan sekencangnya menuju Jembatan Trikora, namun dia sudah terlambat, dari kejauhan dia masih sempat melihat bus jurusan Padang Sidimpuan menaikkan 3 orang penumpang dan segera meluncur. Dia tidak sempat menghalangi kepergian putrinya satu satunya bersama kekasihnya dan masdauna teman akrab Putrinya. Hatinya merasa sedih, dan berduka, dia akan merasa malu kepada keluarga anak namboru Sorta yang bulan depan direncanakan akan melamar Putrinya. Dengan lunglai dan perlahan dia mengayuh sepedanya kembali ke rumah.
Sementara dalam bus yang sedang melaju Sahat dan Sorta duduk bersebelahan diam seribu bahasa, dalam hati mereka sudah bertekad akan membuktikan bahwa pilihan mereka untuk membina rumah tangga sudah benar yang dilandasi rasa cinta, tanpa dibatasi sekat sekat harta kekayaan dan status sosial. Semoga kelak keluarga mereka menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.
(Pengarang: Arbet Pasaribu )