Monday, June 29, 2009

Memeras Pertanian untuk Pembangunan

Memeras Pertanian untuk Pembangunan

Oleh : Bungaran Saragih

Tahun 1966 WF Owen pernah memublikasikan teori The Double Developmental Squeeze on Agriculture yang kemudian dikenal sebagai teori pemerasan sektor pertanian untuk pembangunan. Teori ini mengatakan, pada tahap awal pembangunan ekonomi suatu negara yang ketersediaan modal masih sangat terbatas, pembentukan modal (capital formation) melalui pemerasan surplus sektor pertanian merupakan cara membiayai pembangunan ekonomi khususnya sektor industri.

Mekanisme pemerasan sektor pertanian dilakukan melalui pemerasan produksi (production squeeze) seperti pengupayaan harga-harga produksi pertanian murah melalui perbaikan produktivitas dan instrumen kebijakan lain. Mekanisme lainnya melalui pemerasan pengeluaran (expenditure squeeze) pertanian seperti instrumen pajak, memaksimalkan net capital outflow pertanian, nilai tukar (terms of trade) pertanian yang makin menurun, dan migrasi sumberdaya manusia dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian. Dengan mekanisme pemerasan pertanian tersebut, surplus pertanian-pedesaan diisap dan direinvestasikan pada sektor industri dan jasa.

Paradigma pembangunan ekonomi yang memeras sektor pertanian itu diadopsi hampir semua negara termasuk Indonesia. Sejak awal pembangunan ekonomi di Indonesia, praktik pemerasan sektor pertanian-pedesaan berlangsung sampai sekarang.

Upaya untuk menghasilkan bahan pangan (juga bahan baku) dengan harga murah (supaya upah buruh industri murah) melalui berbagai instrumen kebijakan seperti kurs yang artificial overvalued, tingkat proteksi riil pertanian yang lebih rendah daripada industri, dan perbaikan teknologi pertanian merupakan bagian dari skenario pemerasan pertanian.

Demikian juga kebijakan perpajakan di sektor pertanian-pedesaan, praktik perbankan cenderung sebagai penghimpun dana (net fund rising) di sekitar pertanian pedesaan, urbanisasi yang makin meningkat, konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Perusahaan-perusahaan besar yang ada di Indonesia pun sebagian besar memulai bisnisnya dari pertanian yang kemudian surplus perolehannya direinvestasikan ke luar sektor pertanian.

Contoh-contoh tersebut dapat memberi penjelasan mengapa pangsa sektor pertanian mengalami penurunan dari tahun ke tahun dan mengapa sektor pertanian-pedesaan makin tertinggal dibandingkan sektor lain. Maka tidak mengherankan pula apabila sektor pertanian-pedesaan berubah menjadi kantong-kantong kemiskinan, pendapatan petani tetap tertinggal, serta jumlah petani gurem dan buruh tani makin meningkat.

Agriculture-Industry-Services

Menurut logika pembangunan ekonomi yang memeras pertanian, modernisasi perekonomian akan terjadi bila struktur ekonomi berubah dari dominasi pertanian (A-agriculture) beralih ke industri (I-industry) dan selanjutnya ke sektor jasa (S-services).

Pola perubahan struktur ekonomi yang dianggap normal berdasarkan besar pangsa adalah dari AIS ke IAS dan kemudian SIA. Dengan kata lain, penurunan pangsa pertanian dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja makin menurun terus dan digantikan oleh sektor industri dan kemudian sektor jasa.

Setelah 62 tahun Indonesia merdeka, kontribusi sektor pertanian dalam PDB telah mengalami penurunan yang sangat cepat. Pada 1969 pangsa sektor pertanian masih relatif besar, yakni 40,2%, 2003 menurun menjadi hanya sekitar 10,7%, dan mungkin pada 2007 sudah di bawah 10%. Perubahan pangsa sektor pertanian yang demikian cepat dari sudut logika pembangunan ekonomi yang memeras pertanian dianggap sebagai fenomena normal bahkan dinilai sebagai suatu keberhasilan modernisasi ekonomi.

Namun, penurunan pangsa sektor pertanian dalam PDB yang begitu cepat itu tidak disertai penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja. Dalam periode yang sama, pangsa penyerapan tenaga sektor pertanian hanya turun dari 67% pada 1969 menjadi sekitar 46% pada 2003, dan 2007 diperkirakan masih sekitar 44%.

Dengan kata lain, perubahan struktur ekonomi Indonesia setelah 62 tahun merdeka berlangsung tak seimbang. Dari sudut penciptaan pendapatan (PDB), struktur ekonomi telah berubah dari AIS ke SIA, sementara dalam penyerapan tenaga kerja masih tetap pola AIS. Dalam hal ini paradigma pembangunan ekonomi yang memeras pertanian hanya berhasil dalam perubahan struktur PDB tapi gagal dalam mengubah struktur penyerapan tenaga kerja.

Ada tiga penyebab kegagalan itu. Pertama, laju pertumbuhan tenaga kerja di sekitar pertanian-pedesaan lebih tinggi dibandingkan sektor industri dan jasa. Kedua, sektor industri dan jasa tidak mampu menyerap surplus tenaga kerja yang ada di pertanian-pedesaan.

Cukup logis karena industri-industri yang berkembang di Indonesia selama ini cenderung bersifat footlose industry, berbasis impor dengan kandungan bahan impor mencapai 60% dan relatif padat modal antara lain akibat subsidi BBM. Ketiga, tidak adanya upaya peningkatan kemampuan SDM pertanian-pedesaan yang memungkinkan mereka migrasi ke sekitar industri/jasa. Migrasi tenaga kerja memang terjadi lewat urbanisasi tetapi sebagian besar masuk ke sektor informal di perkotaan.

Perbesar Reinvestasi

Hasil sensus pertanian (BPS, 2003) mengungkapkan, jumlah petani gurem (luas lahan kurang dari 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,6 juta rumah tangga selama periode 1993—2003. Ini berarti sekitar 56% dari petani Indonesia tergolong petani gurem. Yang lebih mengkhawatirkan adalah tidak adanya minat generasi muda jadi petani.

Menurut survei BPS (2001), sekitar 75% petani di Pulau Jawa telah berusia di atas 50 tahun, dan hanya 12% yang berusia di bawah 30 tahun. Bila tidak ada terobosan baru, upaya memberi makan penduduk 215 juta orang akan menjadi masalah besar ke depan.

Bagaimana langkah sebaiknya untuk menyelamatkan pertanian kita? Mengubah paradigma, dengan membalik pemerasan pertanian, yakni memperbesar reinvestasi surplus ke sekitar pertanian-pedesaan. Investasi pemerintah perlu lebih diperbesar ke sektor pertanian-pedesaan, dan investasi swasta perlu difasilitasi untuk lebih banyak ke sektor pedesaan. Perbankan nasional juga perlu mengubah paradigma dan perannya dari net fund rising menjadi net fund using di pedesaan.

Untuk memperbesar kapasitas ekonomi pedesaan, perlu perubahan pendekatan pembangunan dari pendekatan produksi pertanian ke pendekatan sistem agribisnis. Dengan pendekatan sistem agribisnis, tidak hanya pertanian primer yang dikembangkan di pedesaan, tetapi juga industri hulu pertanian, industri hilir pertanian, dan sektor penyedia jasa seperti perkreditan, pelatihan SDM, dan jasa transportasi. Pengembangan industri hulu pertanian seperti pupuk dan benih dilakukan dan berorientasi pedesaan. Demikian juga industri pengolahan hasil pertanian dikembangkan di pedesaan.

Reinvestasi modal ke sektor pedesaan untuk mempercepat pembangunan sistem agribisnis sangat relevan dengan tujuan otonomi daerah. Ekonomi daerah kabupaten/kota akan berkembang bila terjadi reinvestasi ke pedesaan. Bila ekonomi pedesaan berkembang di seluruh daerah, pada hakikatnya ekonomi nasional secara keseluruhan pasti berkembang.

Pada akhirnya perubahan paradigma pembangunan dengan memperbesar reinvestasi ke pedesaan hanya akan berhasil bila kebijakan pemerintah berubah ke pro-rural. Kebijakan pro-rural sama artinya dengan pro-growth, pro-employment, dan pro-poor.

SINAR HARAPAN, Rabu, 22 Agustus 2007